Rabu, 30 Oktober 2013

...Saat rumah adalah harapan ..


Di awal tahun 2013, saya pernah menulis tentang #rumahpintu di link INI .
Ya... #rumahpintu adalah sebuah harapan yang kami tanam sejak awal tahun 2013.

Tak terasa sudah 7 tahun saya tinggal bersama, satu atap, satu kamar mandi, satu dapur dengan Papermoon Puppet Theatre
Setelah menikah, Saya dan Iwan bahkan memutuskan untuk tinggal satu atap dengan studio kerja Papermoon.
Lengkap sudah.
Saya, Iwan effendi, studio kerja Iwan sebagai perupa, dan 4 orang yang sehari-hari ngantor, bekerja dan menggergaji kayu ... berlindung di atap yang sama, di sebuah rumah bergaya arsitektur Jawa yang sederhana, yang tidak bersekat.


photo courtesy by Ojanto



Ruang seukuran kurang lebih 50 meter persegi yang kami tinggali merupakan ruang tamu,  sekaligus ruang kerja, berikut kamar tidur. 



Ratusan tamu sempat singgah di studio kami,  yang kalau malam berubah jadi kamar tidur buat saya dan iwan. Gaya Jepang. Aktivitas kami di malam hari adalah menggelar kasur, dan kemudian menggulungnya saat sinar matahari sudah membangunkan kami dari balik jendela.

Sudah beberapa majalah dan stasiun TV bahkan meliput studio kami. Memotret berbagai sudutnya, dengan tak pernah menyangka bagaimana kami bisa tidur di ruang yang setiap hari didatangi orang baru.




Sudah 6 tahun kami tinggal bersama sebagai sepasang suami istri, tanpa kamar tidur.
Dan tak pernah merasa ada masalah.
Dulu.

Sampai akhirnya tanpa kami sadari, jadwal Papermoon mulai memenuhi kalender, dan karir Iwan sebagai perupa juga sudah semakin memenuhi ruang.
Kami tak lagi punya ruang privat. Sama sekali. 

Iwan sempat mengontrak sebuah rumah yang rencananya akan dipakai sebagai studio pribadi. Gagal.
Dia tak pernah berhasil bekerja di studionya itu. Seperti dugaan saya, Iwan harus tidur di depan karyanya. Dia nggak berbakat ngantor untuk karir kesenirupaannya.

Kami hampir putus asa. Mencari rumah lain untuk studio Papermoon terasa agak mustahil, sedangkan mencari rumah lain untuk kami tinggali juga terasa tak tepat.

Hingga alam semesta mempertemukan kami dengan sebuah rumah berarsitektur Jawa lain, yang nampak bersahaja , tak jauh dari studio Papermoon.
Saya segera jatuh cinta. 
Saya segera bisa membayangkan bagaimana jika saya dan iwan membangun hidup berdua di rumah itu. 
Saya segera bisa membayangkan sebuah harapan baru pada kehidupan kami bertiga. Saya, Iwan dan tentu saja Papermoon.


Mulailah sedikit demi sedikit renovasi kami lakukan. Mulai dari membangun talang beton untuk mengindari kebocoran khas atap rumah tua, mengganti genteng, membangun kamar mandi, membuat dapur, memilih ubin dan tak lupa ... membuat kamar tidur!



Saya yang juga hobi membeli daun jendela dan daun pintu, mulai sibuk memilah milah daun jendela dan daun pintu mana yang tepat diletakkan di mana.
Satu set gebyok kayu jati yang sudah saya beli beberapa tahun lalu akhirnya bisa menemukan rumahnya.




Beberapa detail kecil juga saya tambahkan di sana sini.
Beberapa handle keramik mungil yang saya dapatkan di sebuah toko usang di Darwin kini sudah menemukan pasangannya.
Manis.


 Kami sengaja tidak mengubah bentuk rumah yang dibangun tahun 1930-an ini. Kayu-kayu jati nya masih menyokong dinding dan genteng rumah ini sampai sekarang. Tak ada yang kami kurangi.




Memang membutuhkan waktu yang tak sebentar untuk merenovasi Rumah ini. Tak sabar rasanya. Beberapa minggu terakhir ini saya dan iwan hampir 3-4 kali menengok rumah ini dalam sehari.

Rumah Pintu, demikian kami memberinya nama.
Hanya karena Rumah ini memiliki banyak pintu dan daun jendela.

Rumah bersahaja yang menumbuhkan sebuah harapan besar pada kehidupan kami. 

Ah... Tak sabar rasanya ingin mengundang sahabat sahabat kami minum coklat panas dan kopi aroma di halaman belakang rumah kami kelak...

terima kasih, alam semesta...