Lasem.
sebuah kota kecil di jalur pantai utara pulau Jawa yang udah lama banget pingin saya kunjungi.
Sebuah kota kecil yang jauh dari kata turistik,
dan justru itu yang bikin saya berhasil, untuk nggak habis habisnya jatuh cinta.
Kota ini ditinggali oleh orang-orang dengan latarbelakang agama, suku dan budaya yang berbeda.
Khas kota pesisir.
Tapi ini juga bukan karena tidak ada yang mengupayakannya.
Sekelompok orang, bekerja siang malam untuk menjaga kerukunan yang ada..
menjaga agar yang sudah indah tetap indah.
Ah.. saat menulis posting-an ini, saya kok justru berharap kota ini tetap mampu mempertahankan segala misterinya ya? Nggak usah berubah jadi kota yang sok berdandan molek.
Biarlah tembok-tembok itu tetep usang.. dan orang-orangnya tetap rukun dan ramah.
Alih-alih penasaran dengan bangunan-bangunan tua, berpintu cantik dan tertutup rapat di gang-gang perkampungan pecinan, saya, yang sangat beruntung, berhasil mengunjungi beberapa tempat yang mampu membuat saya ternganga dan memutuskan untuk kembali.
Thanks to Mas Pop, mas Toro dan temen-temen FOKMAS, yang berhasil membuatkan sebuah itinerary perjalanan yang sangat 'SAYA' !!!
So guys, hold your breath...
dan inilah 'harta karun' yang saya temui di balik tembok-tembok usang kota Lasem nan cantik.
ini adalah rumah penjaga Klenteng Cu An Kiong,
yang kabarnya merupakan Klenteng tertua di Jawa
(Klenteng ini dibangun tahun 1477,cuy!)
Terawat rapi dan bersih, beberapa detail di Klenteng ini mampu membuat saya menganga.
Vihara Karunia Dharma, adalah vihara tua yang awalnya merupakan rumah tinggal
sepasang suami istri yang sudah meninggal.
Tante di sebelah kiri itu adalah tante penjaga vihara.
Ia bercerita tentang para 'penunggu' tak kasat mata yang banyak menempati ruang-ruang di vihara itu.
hehehe... nampaknya itu jadi cerita favorit dia untuk disampaikan pada kami.
Tak ada yang berubah dari vihara itu sejak pertama kali bangunan kokoh itu dibangun.
Dan melihat begitu banyaknya ruang dalam bangunan itu, saya seolah bisa merasakan betapa ramai dan sibuknya tempat itu semasa masih menjadi rumah tinggal.
Sebuah kejayaan yang sudah usang.
Bagi saya, Lasem adalah kisah tentang orang-orang tua...
Anak cucu mereka sudah pergi merantau dan jadi orang sukses di kota besar.
Dan yang tersisa hanyalah mereka...
hanya mereka...
Opa yang tertatih langkahnya...
yang dengan semangat menceritakan bagaimana rumah milik Engkong dan Mak-nya dibuat.
Bagaimana ubin di teras rumahnya berbeda dengan lantai kayu di bangunan utama,
bagaimana ia dulu bekerja sebagai supir truk semen,
bagaimana ia tak menikah dan hanya sesekali dikunjungi para keponakan,
bagaimana ia menata pakaian-pakaiannya yang semua berwarna putih...
dan bagaimana ia hanya tinggal di rumah usang itu bersama sepupu perempuannya
dan seorang pembantu....
Oma.. yang sudah hampir kehilangan pendengarannya.
yang memiliki senyuman yang selalu tersungging di bibirnya..
yang nampak tetap cantik di usianya yang senja...
yang selalu duduk melamun di dekat tungku dan tak menghiraukan orang yang duduk di sekitarnya..
Oma, yang tak satu orangpun tahu, apa yang ia pikirkan...
yang juga tak menikah, dan tak punya keturunan.
Lasem adalah kisah tentang kejayaan masa lalu..
Kejayaan yang tergerus oleh waktu dan banyak hal lain..
Kejayaan yang pernah membawa kisah jumawa bagi para pelakunya.
Tapi buat saya, Lasem adalah kota kecil yang menang.
yang masih menyimpan jejak jejak kejayaan itu di balik dinding-dinding usang..
yang masih menyimpan berjuta kisah yang siap diungkapkan...
Di balik kemewahannya yang sederhana...
dimana rasa ingin tahu selalu berhasil ditambah..
dan dimana rasa ingin kembali sudah menggelegak bahkan sebelum saya pergi...
Lasem...
Semoga keindahannya tidak berubah.
Saat keusangan menjadi kemewahan yang tak ternilai,
saat Kelupas cat tembok hanya bisa diciptakan oleh sang waktu,
dan kisah Oma Opa yang hanya bisa terjadi dari kekayaan usia.
Semoga saja...